ROBOHNYA SURAU KAMI
Ali
Akbar Navis
Kalau
beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis,
Tuan akan
berhenti di dekat pasar. Maka kira-kira sekilometer dari pasar akan sampailah
Tuan di
jalan kampungku. Pada simpang kecil ke kanan, simpang yang kelima, membeloklah
ke jalan
sempit itu. Dan di ujung jalan nanti akan Tuan temui sebuah surau tua. Di
depannya
ada kolam
ikan, yang airnya mengalir melalui empat buah pancuran mandi.
Dan di
pelataran kiri surau itu akan Tuan temui seorang tua yang biasanya duduk di
sana
dengansegala
tingkah ketuaannya dan ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-tahun ia
sebagai
garin, penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya Kakek.
Sebagai
penajag surau, Kakek tidak mendapat apa-apa. Ia hidup dari sedekah yang
dipungutnya
sekali se-Jumat. Sekali enam bulan ia mendapat seperempat dari hasil
pemungutan
ikan mas dari kolam itu. Dan sekali setahun orang-orang mengantarkan fitrah Id
kepadanya.
Tapi sebagai garin ia tak begitu dikenal. Ia lebih di kenal sebagai pengasah
pisau.
Karena ia
begitu mahir dengan pekerjaannya itu. Orang-orang suka minta tolong kepadanya,
sedang ia
tak pernah minta imbalan apa-apa. Orang-orang perempuan yang minta tolong
mengasahkan
pisau atau gunting, memberinya sambal sebagai imbalan. Orang laki-laki yang
minta
tolong, memberinya imbalan rokok, kadang-kadang uang. Tapi yang paling sering
diterimanya
ialah ucapan terima kasih dan sedikit senyum.
Tapi kakek
ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal. Dan tinggallah surau itu
tanpa
penjaganya. Hingga anak-anak menggunakannya sebagai tempat bermain, memainkan
segala apa
yang disukai mereka. Perempuan yang kehabisan kayu bakar, sering suka
mencopoti
papan dinding atau lantai di malam hari.
Jika Tuan
datang sekarang, hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu
kesucian
yang bakal roboh. Dan kerobohan itu kian hari kian cepat berlangsungnya.
Secepat
anak-anak
berlari di dalamnya, secepat perempuan mencopoti pekayuannya. Dan yang
terutama
ialah sifat masa bodoh manusia sekarang, yang tak hendak memelihara apa yang
tidak di
jaga lagi. Dan biang keladi dari kerobohan ini ialah sebuah dongengan yang tak
dapat
disangkal
kebenarannya. Beginilah kisahnya.
Sekali
hari aku datang pula mengupah Kakek. Biasanya Kakek gembira menerimaku, karena
aku suka
memberinya uang. Tapi sekali ini Kakek begitu muram. Di sudut benar ia duduk
dengan
lututnya menegak menopang tangan dan dagunya. Pandangannya sayu ke depan,
seolah-olah
ada sesuatu yang yang mengamuk pikirannya. Sebuah belek susu yang berisi
minyak
kelapa, sebuah asahan halus, kulit sol panjang, dan pisau cukur tua berserakan
di
sekitar
kaki Kakek. Tidak pernah aku melihat Kakek begitu durja dan belum pernah
salamku
tak
disahutinya seperti saat itu. Kemudian aku duduk disampingnya dan aku jamah
pisau itu.
Dan aku
tanya Kakek,
“Pisau
siapa, Kek?”
“Ajo
Sidi.”
“Ajo
Sidi?”
Kakek tak
menyahut. Maka aku ingat Ajo Sidi, si pembual itu. Sudah lama aku tak ketemu
dia. Dan
aku ingin ketemu dia lagi. Aku senang mendengar bualannya. Ajo Sidi bisa
mengikat
orang-orang dengan bualannya yang aneh-aneh sepanjang hari. Tapi ini jarang
terjadi
karena ia begitu sibuk dengan pekerjaannya. Sebagai pembual, sukses terbesar
baginya
ialah karena semua pelakupelaku yang diceritakannya menjadi model orang untuk
diejek dan
ceritanya menjadi pameo akhirnya. Ada-ada saja orang-orang di sekitar
kampungku
yang cocok dengan watak pelakupelaku ceritanya. Ketika sekali ia menceritakan
bagaimana
sifat seekor katak, dan kebetulan ada pula seorang yang ketagihan menjadi
pemimpin
berkelakuan seperti katak itu, maka untuk selanjutnya pimpinan tersebut kami
sebut
pimpinan katak.
Tiba-tiba
aku ingat lagi pada Kakek dan kedatang Ajo Sidi kepadanya. Apakah Ajo Sidi
telah
membuat
bualan tentang Kakek? Dan bualan itukah yang mendurjakan Kakek? Aku ingin
tahu. Lalu
aku tanya Kakek lagi. “Apa ceritanya, Kek?”
“Siapa?”
“Ajo
Sidi.”
“Kurang
ajar dia,” Kakek menjawab.
“Kenapa?”
“Mudah-mudahan
pisau cukur ini, yang kuasah tajam-tajam ini, menggoroh
tenggorokannya.”
“Kakek
marah?”
“Marah?
Ya, kalau aku masih muda, tapi aku sudah tua. Orang tua menahan ragam. Sudah
lama aku
tak marah-marah lagi. Takut aku kalau imanku rusak karenanya, ibadatku rusak
karenanya.
Sudah begitu lama aku berbuat baik, beribadat, bertawakal kepada Tuhan. Sudah
begitu
lama aku menyerahkan diri kepada-Nya. Dan Tuhan akan mengasihi orang yang sabar
dan
tawakal.”
Ingin
tahuku dengan cerita Ajo Sidi yang memurungkan Kakek jadi memuncak. Aku tanya
lagi
Kakek, “Bagaimana katanya, Kek?”
Tapi Kakek
diam saja. Berat hatinya bercerita barangkali. Karena aku telah berulang-ulang
bertanya,
lalu ia yang bertanya padaku, “Kau kenal padaku, bukan? Sedari kau kecil aku
sudah
disini. Sedari mudaku, bukan? Kau tahu apa yang kulakukan semua, bukan?
Terkutukkah
perbuatanku?
Dikutuki Tuhankah semua pekerjaanku?”
Tapi aku
tak perlu menjawabnya lagi. Sebab aku tahu, kalau Kakek sudah membuka
mulutnya,
dia takkan diam lagi. Aku biarkan Kakek dengan pertanyaannya sendiri.
“Sedari
muda aku di sini, bukan? Tak kuingat punya isteri, punya anak, punya keluarga
seperti
orang lain, tahu? Tak kupikirkan hidupku sendiri. Aku tak ingin cari kaya,
bikin
rumah.
Segala kehidupanku, lahir batin, kuserahkan kepada Allah Subhanahu wataala. Tak
pernah aku
menyusahkan orang lain. Lalat seekor enggan aku membunuhnya. Tapi kini aku
dikatakan
manusia terkutuk. Umpan neraka. Marahkah Tuhan kalau itu yang kulakukan,
sangkamu?
Akan dikutukinya aku kalau selama hidupku aku mengabdi kepada-Nya? Tak
kupikirkan
hari esokku, karena aku yakin Tuhan itu ada dan pengasih dan penyayang kepada
umatnya
yang tawakal. Aku bangun pagi-pagi. Aku bersuci. Aku pukul beduk
membangunkan
manusia dari tidurnya, supaya bersujud kepada-Nya. Aku sembahyang setiap
waktu. Aku
puji-puji Dia. Aku baca Kitab-Nya.
Alhamdulillah
kataku bila aku menerima karunia-Nya. Astagfirullah kataku bila aku
terkejut.Masya
Allah kataku bila aku kagum. Apa salahnya pekerjaanku itu? Tapi kini aku
dikatakan
manusia terkutuk.”
Ketika
Kakek terdiam agak lama, aku menyelakan tanyaku, “Ia katakan Kakek begitu, Kek?”
“Ia tak
mengatakan aku terkutuk. Tapi begitulah kira-kiranya.”
Dan aku
melihat mata Kakek berlinang. Aku jadi belas kepadanya. Dalam hatiku aku
mengumpati
Ajo Sidi yang begitu memukuli hati Kakek. Dan ingin tahuku menjadikan aku
nyinyir
bertanya. Dan akhirnya Kakek bercerita lagi.
“Pada
suatu waktu, ‘kata Ajo Sidi memulai, ‘di akhirat Tuhan Allah memeriksa
orang-orang
yang sudah
berpulang. Para malaikat bertugas di samping-Nya. Di tangan mereka
tergenggam
daftar dosa dan pahala manusia. Begitu banyak orang yang diperiksa. Maklumlah
dimana-mana
ada perang. Dan di antara orang-orang yang diperiksa itu ada seirang yang di
dunia di
namai Haji Saleh. Haji Saleh itu tersenyum-senyum saja, karena ia sudah begitu
yakin akan
di masukkan ke dalam surga. Kedua tangannya ditopangkan di pinggang sambil
membusungkan
dada dan menekurkan kepala ke kuduk. Ketika dilihatnya orang-orang yang
masuk
neraka, bibirnya menyunggingkan senyum ejekan. Dan ketika ia melihat orang yang
masuk ke
surga, ia melambaikan tangannya, seolah hendak mengatakan ‘selamat ketemu
nanti’.
Bagai tak habishabisnya orang yang berantri begitu panjangnya. Susut di muka,
bertambah
yang di belakang. Dan Tuhan memeriksa dengan segala sifat-Nya.
Akhirnya
sampailah giliran Haji Saleh. Sambil tersenyum bangga ia menyembah Tuhan. Lalu
Tuhan
mengajukan pertanyaan pertama.
‘Engkau?’
‘Aku
Saleh. Tapi karena aku sudah ke Mekah, Haji Saleh namaku.’
‘Aku tidak
tanya nama. Nama bagiku, tak perlu. Nama hanya buat engkau di dunia.’
‘Ya,
Tuhanku.’
‘apa
kerjamu di dunia?’
‘Aku
menyembah Engkau selalu, Tuhanku.’
‘Lain?’
‘Setiap
hari, setiap malam. Bahkan setiap masa aku menyebut-nyebut nama-Mu.’
‘Lain.’
‘Ya,
Tuhanku, tak ada pekerjaanku selain daripada beribadat menyembah-Mu,
menyebutnyebut
nama-Mu.
Bahkan dalam kasih-Mu, ketika aku sakit, nama-Mu menjadi buah bibirku
juga. Dan
aku selalu berdoa, mendoakan kemurahan hati-Mu untuk menginsafkan umat-Mu.’
‘Lain?’
Haji Saleh
tak dapat menjawab lagi. Ia telah menceritakan segala yang ia kerjakan. Tapi ia
insaf,
pertanyaan Tuhan bukan asal bertanya saja, tentu ada lagi yang belum di
katakannya.
Tapi
menurut pendapatnya, ia telah menceritakan segalanya. Ia tak tahu lagi apa yang
harus
dikatakannya.
Ia termenung dan menekurkan kepalanya. Api neraka tiba-tiba
menghawakan
kehangatannya ke tubuh Haji Saleh. Dan ia menangis. Tapi setiap air matanya
mengalir,
diisap kering oleh hawa panas neraka itu.
‘Lain
lagi?’ tanya Tuhan.
‘Sudah
hamba-Mu ceritakan semuanya, o, Tuhan yang Mahabesar, lagi Pengasih dan
Penyayang,
Adil dan Mahatahu.’ Haji Saleh yang sudah kuyu mencobakan siasat
merendahkan
diri dan memuji Tuhan dengan pengharapan semoga Tuhan bisa berbuat lembut
terhadapnya
dan tidak salah tanya kepadanya.
Tapi Tuhan
bertanya lagi: ‘Tak ada lagi?’
‘O, o,
ooo, anu Tuhanku. Aku selalu membaca Kitab-Mu.’
‘Lain?’
‘Sudah
kuceritakan semuanya, o, Tuhanku. Tapi kalau ada yang lupa aku katakan, aku pun
bersyukur
karena Engkaulah Mahatahu.’
‘Sungguh
tidak ada lagi yang kaukerjakan di dunia selain yang kauceritakan tadi?’
‘Ya,
itulah semuanya, Tuhanku.’
‘Masuk
kamu.’
Dan
malaikat dengan sigapnya menjewer Haji Saleh ke neraka. Haji Saleh tidak
mengerti
kenapa ia
di bawa ke neraka. Ia tak mengerti apa yang di kehendaki Tuhan daripadanya dan
ia percaya
Tuhan tidak silap.
Alangkah
tercengang Haji Saleh, karena di neraka itu banyak teman-temannya di dunia
terpanggang
hangus, merintih kesakitan. Dan ia tambah tak mengerti dengan keadaan dirinya,
karena
semua orang yang dilihatnya di neraka itu tak kurang ibadatnya dari dia
sendiri.
Bahkan ada
salah seorang yang telah sampai empat belas kali ke Mekah dan bergelar syekh
pula. Lalu
Haji Saleh mendekati mereka, dan bertanya kenapa mereka dinerakakan
semuanya.
Tapi sebagaimana Haji Saleh, orang-orang itu pun, tak mengerti juga.
‘Bagaimana
Tuhan kita ini?’ kata Haji Saleh kemudian, ‘Bukankah kita di suruh-Nya taat
beribadat,
teguh beriman? Dan itu semua sudah kita kerjakan selama hidup kita. Tapi kini
kita
dimasukkan-Nya ke neraka.’
‘Ya, kami
juga heran. Tengoklah itu orang-orang senegeri dengan kita semua, dan tak
kurang
ketaatannya
beribadat,’ kata salah seorang diantaranya.
‘Ini
sungguh tidak adil.’
‘Memang
tidak adil,’ kata orang-orang itu mengulangi ucapan Haji Saleh.
‘Kalau
begitu, kita harus minta kesaksian atas kesalahan kita.’
‘Kita
harus mengingatkan Tuhan, kalau-kalau Ia silap memasukkan kita ke neraka ini.’
‘Benar.
Benar. Benar.’ Sorakan yang lain membenarkan Haji Saleh.
‘Kalau
Tuhan tak mau mengakui kesilapan-Nya, bagaimana?’ suatu suara melengking di
dalam
kelompok orang banyak itu.
‘Kita
protes. Kita resolusikan,’ kata Haji Saleh.
‘Apa kita
revolusikan juga?’ tanya suara yang lain, yang rupanya di dunia menjadi
pemimpin
gerakan
revolusioner.
‘Itu
tergantung kepada keadaan,’ kata Haji Saleh. ‘Yang penting sekarang, mari kita
berdemonstrasi
menghadap Tuhan.’
‘Cocok
sekali. Di dunia dulu dengan demonstrasi saja, banyak yang kita perolah,’
sebuah
suara
menyela.
‘Setuju.
Setuju. Setuju.’ Mereka bersorak beramai-ramai.
Lalu
mereka berangkatlah bersama-sama menghadap Tuhan.
Dan Tuhan
bertanya, ‘Kalian mau apa?’
Haji Saleh
yang menjadi pemimpin dan juru bicara tampil ke depan. Dan dengan suara yang
menggeletar
dan berirama rendah, ia memulai pidatonya: ‘O, Tuhan kami yang Mahabesar.
Kami yang
menghadap-Mu ini adalah umat-Mu yang paling taat beribadat, yang paling
taat
menyembahmu. Kamilah orang-orang yang selalu menyebut nama-Mu, memuji-muji
kebesaran-
Mu,mempropagandakan keadilan-Mu, dan lain-lainnya. Kitab-Mu kami hafal di
luar
kepala kami.Tak sesat sedikitpun kami membacanya. Akan tetapi, Tuhanku yang
Mahakuasa
setelah kami Engkau panggil kemari, Engkau memasukkan kami ke neraka.
Maka
sebelum terjadi hal-hal yang tak diingini, maka di sini, atas nama orang-orang
yang
cinta
pada-Mu, kami menuntut agar hukuman yang Kaujatuhkan kepada kami ke surga
sebagaimana
yang Engkau janjikan dalam Kitab-Mu.’
‘Kalian di
dunia tinggal di mana?’ tanya Tuhan.
‘Kami ini
adalah umat-Mu yang tinggal di Indonesia, Tuhanku.’
‘O, di
negeri yang tanahnya subur itu?’
‘Ya,
benarlah itu, Tuhanku.’
‘Tanahnya
yang mahakaya raya, penuh oleh logam, minyak, dan berbagai bahan tambang
lainnya,
bukan?’
‘Benar.
Benar. Benar. Tuhan kami. Itulah negeri kami.’ Mereka mulai menjawab serentak.
Karena
fajar kegembiraan telah membayang di wajahnya kembali. Dan yakinlah mereka
sekarang,
bahwa Tuhan telah silap menjatuhkan hukuman kepada mereka itu.
‘Di negeri
mana tanahnya begitu subur, sehingga tanaman tumbuh tanpa di tanam?’
‘Benar.
Benar. Benar. Itulah negeri kami.’
‘Di
negeri, di mana penduduknya sendiri melarat?’
‘Ya. Ya.
Ya. Itulah dia negeri kami.’
‘Negeri
yang lama diperbudak negeri lain?’
‘Ya,
Tuhanku. Sungguh laknat penjajah itu, Tuhanku.’
‘Dan hasil
tanahmu, mereka yang mengeruknya, dan diangkut ke negerinya, bukan?’
‘Benar,
Tuhanku. Hingga kami tak mendapat apa-apa lagi. Sungguh laknat mereka itu.’
‘Di negeri
yang selalu kacau itu, hingga kamu dengan kamu selalu berkelahi, sedang hasil
tanahmu
orang lain juga yang mengambilnya, bukan?’
‘Benar,
Tuhanku. Tapi bagi kami soal harta benda itu kami tak mau tahu. Yang penting
bagi
kami ialah
menyembah dan memuji Engkau.’
‘Engkau
rela tetap melarat, bukan?’
‘Benar.
Kami rela sekali, Tuhanku.’
‘Karena
keralaanmu itu, anak cucumu tetap juga melarat, bukan?’
‘Sungguhpun
anak cucu kami itu melarat, tapi mereka semua pintar mengaji. Kitab-Mu
mereka
hafal di luar kepala.’
‘Tapi
seperti kamu juga, apa yang disebutnya tidak di masukkan ke hatinya, bukan?’
‘Ada,
Tuhanku.’
‘Kalau
ada, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua.
Sedang
harta bendamu kaubiarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan
engkau
lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku
beri
kau negeri
yang kaya raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat
tidak
mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang aku menyuruh engkau
semuanya
beramal kalau engkau miskin. Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk di sembah
saja.
Tidak. Kamu semua mesti masuk neraka. hai, Malaikat, halaulah mereka ini
kembali ke
neraka.
Letakkan di keraknya!”
Semua
menjadi pucat pasi tak berani berkata apa-apa lagi. Tahulah mereka sekarang apa
jalan
yang
diridai Allah di dunia. Tapi Haji Saleh ingin juga kepastian apakah yang akan
di
kerjakannya
di dunia itu salah atau benar. Tapi ia tak berani bertanya kepada Tuhan. Ia
bertanya
saja pada
malaikat
yang menggiring mereka itu.
‘Salahkah
menurut pendapatmu, kalau kami, menyembah Tuhan di dunia?’ tanya Haji Saleh.
‘Tidak.
Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut
masuk
neraka, karena itu kau taat sembahyang. Tapi engkau melupakan kehidupan kaummu
sendiri,
melupakan kehidupan anak isterimu sendiri, sehingga mereka itu kucar-kacir
selamanya.
Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis. Padahal engkau di dunia
berkaum,
bersaudara semuanya, tapi engkau tak mempedulikan mereka sedikit pun.’
Demikianlah
cerita Ajo Sidi yang kudengar dari Kakek. Cerita yang memurungkan Kakek.
Dan
besoknya, ketika aku mau turun rumah pagi-pagi, istriku berkata apa aku tak
pergi
menjenguk.
“Siapa
yang meninggal?” tanyaku kagut.
“Kakek.”
“Kakek?”
“Ya. Tadi
subuh Kakek kedapatan mati di suraunya dalam keadaan yang mengerikan sekali.
Ia
menggoroh lehernya dengan pisau cukur.”
“Astaga!
Ajo Sidi punya gara-gara,” kataku seraya cepat-cepat meninggalkan istriku yang
tercengang-cengang.
Aku cari
Ajo Sidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa dengan istrinya saja. Lalu aku tanya
dia.
“Ia sudah
pergi,” jawab istri Ajo Sidi.
“Tidak ia
tahu Kakek meninggal?”
“Sudah.
Dan ia meninggalkan pesan agar dibelikan kain kafan buat Kakek tujuh lapis.”
“Dan
sekarang,” tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh
perbuatan
Ajo Sidi yang tidak sedikit pun bertanggung jawab, “dan sekarang kemana dia?”
“Kerja.”
“Kerja?”
tanyaku mengulangi hampa.
“Ya, dia
pergi kerja.”
—the end—
ANALISIS
CERPEN ROBOHNYA SURAU KAMI
UNSUR INTRINSIK DAN EKSTRINSIK
a. Unsur Intrinsik
1. Tema :
Seorang kepala keluarga yang lalai
menghidupi keluarganya.
2. Amanat pokok yang terdapat dalam
cerpen ini adalah "Pelihara, dan jagalah apa yang kau miliki,
bertanggungjawablah dengan kewajibanmu di dunia ini." Amanat lain yang
dapat diambil dari cerpen, antara lain:
1) jangan cepat marah kalau diejek orang,
2) jangan cepat bangga kalau berbuat baik,
3) jangan terpesona oleh gelar dan nama besar,
4) jangan menyia-nyiakan yang kamu miliki, dan
5) jangan egois.
1) jangan cepat marah kalau diejek orang,
2) jangan cepat bangga kalau berbuat baik,
3) jangan terpesona oleh gelar dan nama besar,
4) jangan menyia-nyiakan yang kamu miliki, dan
5) jangan egois.
3. Latar
Dalam suatu cerita latar dibentuk melalui segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya suatu peristiwa. Latar ini ada tiga macam, yaitu: latar tempat; latar waktu; dan latar sosial.
a. Latar Tempat
Latar jenis ini biasa disebut latar fisik. Latar tempat yang ada dalam cerpen ini jelas disebutkan oleh pengarangnya, seperti kota, dekat pasar, di surau, dan sebagainya, seperti yang sudah dipaparkan di atas contoh seperti berikut :
Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat pasar. Melangkahlah menyusuri jalan raya arah ke barat. Maka kira-kira sekilometer dari pasar akan sampailah Tuan di jalan kampungku. Pada simpang kecil kekanan, simpang yang kelima, membeloklah ke jalan sempit itu. Dan di ujung jalan itu nanti akan tuan temui sebuah surau tua
Dalam suatu cerita latar dibentuk melalui segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya suatu peristiwa. Latar ini ada tiga macam, yaitu: latar tempat; latar waktu; dan latar sosial.
a. Latar Tempat
Latar jenis ini biasa disebut latar fisik. Latar tempat yang ada dalam cerpen ini jelas disebutkan oleh pengarangnya, seperti kota, dekat pasar, di surau, dan sebagainya, seperti yang sudah dipaparkan di atas contoh seperti berikut :
Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat pasar. Melangkahlah menyusuri jalan raya arah ke barat. Maka kira-kira sekilometer dari pasar akan sampailah Tuan di jalan kampungku. Pada simpang kecil kekanan, simpang yang kelima, membeloklah ke jalan sempit itu. Dan di ujung jalan itu nanti akan tuan temui sebuah surau tua
b.
Latar Waktu
Latar jenis ini, yang terdapat dalam cerpen ini ada yang bersamaan dengan latar tempat, seperti yang sudah dipaparkan di atas pada latar tempat atau contoh yang lainnya seperti berikut :
“Pada suatu waktu,” kata Ajo Sidi memulai, “..di Akhirat Tuhan Allah memeriksa orang-orang yang sudah berpulang ….”
Latar jenis ini, yang terdapat dalam cerpen ini ada yang bersamaan dengan latar tempat, seperti yang sudah dipaparkan di atas pada latar tempat atau contoh yang lainnya seperti berikut :
“Pada suatu waktu,” kata Ajo Sidi memulai, “..di Akhirat Tuhan Allah memeriksa orang-orang yang sudah berpulang ….”
c.
Latar Sosial
Di dalam cerpen ini latar sosial digambarkan sebagai berikut :
Dan di pelataran surau kiri itu akan tuan temui seorang tua yang biasanya duduk disana dengan segala tingkah ketuaannya dan ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-tahun Ia sebagai Garin, penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya kakek. Dari contoh ini tampak latar sosial berdasarkan usia, pekerjaan, dan kebisaan atau cara hidupnya.
Di dalam cerpen ini latar sosial digambarkan sebagai berikut :
Dan di pelataran surau kiri itu akan tuan temui seorang tua yang biasanya duduk disana dengan segala tingkah ketuaannya dan ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-tahun Ia sebagai Garin, penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya kakek. Dari contoh ini tampak latar sosial berdasarkan usia, pekerjaan, dan kebisaan atau cara hidupnya.
4. Alur
Alur cerpen ini adalah alur mundur karena ceritanya mengisahkan peristiwa yang telah berlalu yaitu sebab-sebab kematian kakek Garin. Sedangkan strukturnya berupa bagian awal, tengah, dan akhir. Adapun alur mundurnya mulai muncul di akhir bagian awal dan berakhir di awal bagian akhir.
Alur cerpen ini adalah alur mundur karena ceritanya mengisahkan peristiwa yang telah berlalu yaitu sebab-sebab kematian kakek Garin. Sedangkan strukturnya berupa bagian awal, tengah, dan akhir. Adapun alur mundurnya mulai muncul di akhir bagian awal dan berakhir di awal bagian akhir.
5. Penokohan
Tokoh dalam cerpen ini ada empat orang, yaitu tokoh Aku, Ajo Sidi, Kakek, dan Haji Saleh.
1) Tokoh Aku berwatak selalu ingin tahu urusan orang lain.
2) Ajo Sidi adalah orang yang suka membual,dan cinta kerja.
3) Kakek adalah orang yang egois dan lalai, mudah dipengaruhi dan mempercayai orang lain pendek akal dan pikirannya, serta terlalu lemah imannya.
4) Haji Saleh yaitu orang yang telah mementingkan diri sendiri (egois).
Tokoh dalam cerpen ini ada empat orang, yaitu tokoh Aku, Ajo Sidi, Kakek, dan Haji Saleh.
1) Tokoh Aku berwatak selalu ingin tahu urusan orang lain.
2) Ajo Sidi adalah orang yang suka membual,dan cinta kerja.
3) Kakek adalah orang yang egois dan lalai, mudah dipengaruhi dan mempercayai orang lain pendek akal dan pikirannya, serta terlalu lemah imannya.
4) Haji Saleh yaitu orang yang telah mementingkan diri sendiri (egois).
6. Titik Pengisahan
Titik pengisahan cerpen ini yaitu pengarang berperan sebagai tokoh utama (akuan sertaan) sebab secara langsung pengarang terlibat di dalam cerita. Selain itu pengarang pun berperan sebagai tokoh bawahan ketika si kakek bercerita tentang Haji Saleh di depan tokoh aku.
Titik pengisahan cerpen ini yaitu pengarang berperan sebagai tokoh utama (akuan sertaan) sebab secara langsung pengarang terlibat di dalam cerita. Selain itu pengarang pun berperan sebagai tokoh bawahan ketika si kakek bercerita tentang Haji Saleh di depan tokoh aku.
7. Gaya Bahasa / Majas
Majas
yang digunakan dalam cerpen ini di antaranya majas alegori karena di dalam
cerita ini cara berceritanya menggunakan lambang, yakni tokoh Haji Saleh dan
kehidupan di akhirat, atau lebih tepatnya menggunakan majas parabel (majas ini
merupakan bagian dari majas alegori) karena majas ini berisi ajaran agama, moral
atau suatu kebenaran umum dengan mengunakan ibarat. Majas ini sangat dominan
dalam cerpen ini
Selain majas alegori atau parabol, pengarang pun menggunakan
majas Sinisme seperti yang diucapkan tokoh aku: ”…Dan yang terutama ialah sifat
masa bodoh manusia sekarang, yang tak hendak memelihara apa yang tidak dijaga
lagi….” Inilah sebuah kritik untuk masyarakat kita sekarang ini. Dengan
demikian penggunaan majas-majas itu untuk mengingatkan atau menasehati
sekaligus mengejek pembaca atau masyarakat. Nasehat dan ejekannya itu ternyata
berhasil. Buktinya, ketika cerpen ini diterbitkan tidak lama kemudian cerpen
ini mendapat tempat di hati pembacanya dan masih terus dibicarakan hingga kini.
b. Unsur Ekstrinsik
1.
Judul :
Robohnya Surau Kami
2.
Penulis :
Ali Akbar Navis
3.
Agama Pengarang :
Islam
NILAI-NILAI
YANG TERKANDUNG DALAM CERPEN
ü Nilai
Sosial :
Kita harus saling membantu jika
orang lain dalam kesusahan seperti dalam cerpen tersebut karena pada hakikatnya
kita adalah mahluk sosial.
ü Nilai
Moral
Kita sebagai sesama manusia hendaknya
jangan saling mengejek atau menghina orang lain tetapi harus saling
menghormati.
ü Nilai
Agama
Kita
harus selalu melakukan kehendak Allah, jangan melakukan hal yang dilarang
oleh-Nya seperti bunuh diri, mencemooh dan berbohong.
ü Nilai
Pendidikan
Kita
tidak boleh putus asa dalam menghadapi kesulitan tetapi harus selalu berusaha
dengan sekuat tenaga.
ü Nilai
Adat
Kita harus memegang teguh
nilai-nilai yang ada dalam masyarakat.
MANFAAT CERPEN
Cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis sebagai Bahan Pembelajaran
Sastra di Kelas. Cerpen sebagai salah satu karya sastra jelas dapat memberikan
manfaat seperti layaknya karya sastra yang lain. Manfaatnya selain memberikan
kenikmatan dan hiburan, dia juga dapat mengembangkan imajinasi, memberikan
pengalaman pengganti, mengembangkan pengertian perilaku manusia dan dapat
menyuguhkan pengalaman yang universal. Oleh karena itu dapat memberikan
manfaat, maka sewajarnya sebuah cerpen dapat dijadikan bahan/materi
pembelajaran sastra di kelas. Pemilihan dan penetapan cerpen sebagai
bahan/materi pembelajaran tentunya harus mengikuti kriteria yang sudah
ditetapkan secara umum yaitu:
a. Dilihat dari segi bahasanya, cerpen ini jelas menggunakan bahasa yang bisa dipahami pembaca orang Indonesia, yaitu bahasa Indonesia. Tidak hanya ini, gaya bahasanya pun menarik dan pilihan katanya pun dapat memperkaya kosa kata siswa dalam hal bidang keagamaan.
b. Latar belakang budaya yang ditampilkan pun masih terasa umum. Jadi, siapa pun (baik yang beragama Islam, kristen, Hindu,maupun Budha) bisa dengan mudah memahaminya dan tidak menimbulkan pertentangan yang mendasar. Meskipun di dalamnya terdapat kosa kata islami, hal ini tidaklah menggangu bahkan akan menarik jika siswa membandingkan dengan kosa kata non-Islam yang sejenis.
a. Dilihat dari segi bahasanya, cerpen ini jelas menggunakan bahasa yang bisa dipahami pembaca orang Indonesia, yaitu bahasa Indonesia. Tidak hanya ini, gaya bahasanya pun menarik dan pilihan katanya pun dapat memperkaya kosa kata siswa dalam hal bidang keagamaan.
b. Latar belakang budaya yang ditampilkan pun masih terasa umum. Jadi, siapa pun (baik yang beragama Islam, kristen, Hindu,maupun Budha) bisa dengan mudah memahaminya dan tidak menimbulkan pertentangan yang mendasar. Meskipun di dalamnya terdapat kosa kata islami, hal ini tidaklah menggangu bahkan akan menarik jika siswa membandingkan dengan kosa kata non-Islam yang sejenis.
Berdasarkan kriteria-kritera inilah kiranya cerpen ini sangat sesuai dan tepat bila dijadikan bahan ajar untuk pembelajaran sastra di kelas I dan II, apalagi di kelas III SMU. Selain itu, akan lebih menarik lagi jika gurunya pun aktif-kreatif ketika membelajarkan siswanya dalam menelaah cerpen tersebut. Namun demikian, agar pembelajaran sastra dengan bahan cerpen itu menarik dan lancar, guru dan siswanya pun haruslah sama-sama membaca cerpen itu lebih dari satu kali dan jangan coba- coba membaca ringkasannya.
ANALISIS
CERPEN ROBOHNYA SURAU KAMI
UNSUR INTRINSIK DAN EKSTRINSIK
a. Unsur Intrinsik
1. Tema :
Seorang kepala keluarga yang lalai
menghidupi keluarganya.
2. Amanat pokok yang terdapat dalam
cerpen ini adalah "Pelihara, dan jagalah apa yang kau miliki,
bertanggungjawablah dengan kewajibanmu di dunia ini." Amanat lain yang
dapat diambil dari cerpen, antara lain:
1) jangan cepat marah kalau diejek orang,
2) jangan cepat bangga kalau berbuat baik,
3) jangan terpesona oleh gelar dan nama besar,
4) jangan menyia-nyiakan yang kamu miliki, dan
5) jangan egois.
1) jangan cepat marah kalau diejek orang,
2) jangan cepat bangga kalau berbuat baik,
3) jangan terpesona oleh gelar dan nama besar,
4) jangan menyia-nyiakan yang kamu miliki, dan
5) jangan egois.
3. Latar
Dalam suatu cerita latar dibentuk melalui segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya suatu peristiwa. Latar ini ada tiga macam, yaitu: latar tempat; latar waktu; dan latar sosial.
a. Latar Tempat
Latar jenis ini biasa disebut latar fisik. Latar tempat yang ada dalam cerpen ini jelas disebutkan oleh pengarangnya, seperti kota, dekat pasar, di surau, dan sebagainya, seperti yang sudah dipaparkan di atas contoh seperti berikut :
Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat pasar. Melangkahlah menyusuri jalan raya arah ke barat. Maka kira-kira sekilometer dari pasar akan sampailah Tuan di jalan kampungku. Pada simpang kecil kekanan, simpang yang kelima, membeloklah ke jalan sempit itu. Dan di ujung jalan itu nanti akan tuan temui sebuah surau tua
Dalam suatu cerita latar dibentuk melalui segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya suatu peristiwa. Latar ini ada tiga macam, yaitu: latar tempat; latar waktu; dan latar sosial.
a. Latar Tempat
Latar jenis ini biasa disebut latar fisik. Latar tempat yang ada dalam cerpen ini jelas disebutkan oleh pengarangnya, seperti kota, dekat pasar, di surau, dan sebagainya, seperti yang sudah dipaparkan di atas contoh seperti berikut :
Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat pasar. Melangkahlah menyusuri jalan raya arah ke barat. Maka kira-kira sekilometer dari pasar akan sampailah Tuan di jalan kampungku. Pada simpang kecil kekanan, simpang yang kelima, membeloklah ke jalan sempit itu. Dan di ujung jalan itu nanti akan tuan temui sebuah surau tua
b.
Latar Waktu
Latar jenis ini, yang terdapat dalam cerpen ini ada yang bersamaan dengan latar tempat, seperti yang sudah dipaparkan di atas pada latar tempat atau contoh yang lainnya seperti berikut :
“Pada suatu waktu,” kata Ajo Sidi memulai, “..di Akhirat Tuhan Allah memeriksa orang-orang yang sudah berpulang ….”
Latar jenis ini, yang terdapat dalam cerpen ini ada yang bersamaan dengan latar tempat, seperti yang sudah dipaparkan di atas pada latar tempat atau contoh yang lainnya seperti berikut :
“Pada suatu waktu,” kata Ajo Sidi memulai, “..di Akhirat Tuhan Allah memeriksa orang-orang yang sudah berpulang ….”
c.
Latar Sosial
Di dalam cerpen ini latar sosial digambarkan sebagai berikut :
Dan di pelataran surau kiri itu akan tuan temui seorang tua yang biasanya duduk disana dengan segala tingkah ketuaannya dan ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-tahun Ia sebagai Garin, penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya kakek. Dari contoh ini tampak latar sosial berdasarkan usia, pekerjaan, dan kebisaan atau cara hidupnya.
Di dalam cerpen ini latar sosial digambarkan sebagai berikut :
Dan di pelataran surau kiri itu akan tuan temui seorang tua yang biasanya duduk disana dengan segala tingkah ketuaannya dan ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-tahun Ia sebagai Garin, penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya kakek. Dari contoh ini tampak latar sosial berdasarkan usia, pekerjaan, dan kebisaan atau cara hidupnya.
4. Alur
Alur cerpen ini adalah alur mundur karena ceritanya mengisahkan peristiwa yang telah berlalu yaitu sebab-sebab kematian kakek Garin. Sedangkan strukturnya berupa bagian awal, tengah, dan akhir. Adapun alur mundurnya mulai muncul di akhir bagian awal dan berakhir di awal bagian akhir.
Alur cerpen ini adalah alur mundur karena ceritanya mengisahkan peristiwa yang telah berlalu yaitu sebab-sebab kematian kakek Garin. Sedangkan strukturnya berupa bagian awal, tengah, dan akhir. Adapun alur mundurnya mulai muncul di akhir bagian awal dan berakhir di awal bagian akhir.
5. Penokohan
Tokoh dalam cerpen ini ada empat orang, yaitu tokoh Aku, Ajo Sidi, Kakek, dan Haji Saleh.
1) Tokoh Aku berwatak selalu ingin tahu urusan orang lain.
2) Ajo Sidi adalah orang yang suka membual,dan cinta kerja.
3) Kakek adalah orang yang egois dan lalai, mudah dipengaruhi dan mempercayai orang lain pendek akal dan pikirannya, serta terlalu lemah imannya.
4) Haji Saleh yaitu orang yang telah mementingkan diri sendiri (egois).
Tokoh dalam cerpen ini ada empat orang, yaitu tokoh Aku, Ajo Sidi, Kakek, dan Haji Saleh.
1) Tokoh Aku berwatak selalu ingin tahu urusan orang lain.
2) Ajo Sidi adalah orang yang suka membual,dan cinta kerja.
3) Kakek adalah orang yang egois dan lalai, mudah dipengaruhi dan mempercayai orang lain pendek akal dan pikirannya, serta terlalu lemah imannya.
4) Haji Saleh yaitu orang yang telah mementingkan diri sendiri (egois).
6. Titik Pengisahan
Titik pengisahan cerpen ini yaitu pengarang berperan sebagai tokoh utama (akuan sertaan) sebab secara langsung pengarang terlibat di dalam cerita. Selain itu pengarang pun berperan sebagai tokoh bawahan ketika si kakek bercerita tentang Haji Saleh di depan tokoh aku.
Titik pengisahan cerpen ini yaitu pengarang berperan sebagai tokoh utama (akuan sertaan) sebab secara langsung pengarang terlibat di dalam cerita. Selain itu pengarang pun berperan sebagai tokoh bawahan ketika si kakek bercerita tentang Haji Saleh di depan tokoh aku.
7. Gaya Bahasa / Majas
Majas
yang digunakan dalam cerpen ini di antaranya majas alegori karena di dalam
cerita ini cara berceritanya menggunakan lambang, yakni tokoh Haji Saleh dan
kehidupan di akhirat, atau lebih tepatnya menggunakan majas parabel (majas ini
merupakan bagian dari majas alegori) karena majas ini berisi ajaran agama,
moral atau suatu kebenaran umum dengan mengunakan ibarat. Majas ini sangat
dominan dalam cerpen ini
Selain majas alegori atau parabol, pengarang pun menggunakan
majas Sinisme seperti yang diucapkan tokoh aku: ”…Dan yang terutama ialah sifat
masa bodoh manusia sekarang, yang tak hendak memelihara apa yang tidak dijaga
lagi….” Inilah sebuah kritik untuk masyarakat kita sekarang ini. Dengan
demikian penggunaan majas-majas itu untuk mengingatkan atau menasehati
sekaligus mengejek pembaca atau masyarakat. Nasehat dan ejekannya itu ternyata
berhasil. Buktinya, ketika cerpen ini diterbitkan tidak lama kemudian cerpen
ini mendapat tempat di hati pembacanya dan masih terus dibicarakan hingga kini.
b. Unsur Ekstrinsik
1.
Judul :
Robohnya Surau Kami
2.
Penulis :
Ali Akbar Navis
3.
Agama Pengarang :
Islam
NILAI-NILAI
YANG TERKANDUNG DALAM CERPEN
ü Nilai
Sosial :
Kita harus saling membantu jika
orang lain dalam kesusahan seperti dalam cerpen tersebut karena pada hakikatnya
kita adalah mahluk sosial.
ü Nilai
Moral
Kita sebagai sesama manusia hendaknya
jangan saling mengejek atau menghina orang lain tetapi harus saling
menghormati.
ü Nilai
Agama
Kita
harus selalu melakukan kehendak Allah, jangan melakukan hal yang dilarang
oleh-Nya seperti bunuh diri, mencemooh dan berbohong.
ü Nilai
Pendidikan
Kita
tidak boleh putus asa dalam menghadapi kesulitan tetapi harus selalu berusaha
dengan sekuat tenaga.
ü Nilai
Adat
Kita harus memegang teguh
nilai-nilai yang ada dalam masyarakat.
MANFAAT CERPEN
Cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis sebagai Bahan Pembelajaran
Sastra di Kelas. Cerpen sebagai salah satu karya sastra jelas dapat memberikan
manfaat seperti layaknya karya sastra yang lain. Manfaatnya selain memberikan
kenikmatan dan hiburan, dia juga dapat mengembangkan imajinasi, memberikan
pengalaman pengganti, mengembangkan pengertian perilaku manusia dan dapat
menyuguhkan pengalaman yang universal. Oleh karena itu dapat memberikan
manfaat, maka sewajarnya sebuah cerpen dapat dijadikan bahan/materi
pembelajaran sastra di kelas. Pemilihan dan penetapan cerpen sebagai
bahan/materi pembelajaran tentunya harus mengikuti kriteria yang sudah
ditetapkan secara umum yaitu:
a. Dilihat dari segi bahasanya, cerpen ini jelas menggunakan bahasa yang bisa dipahami pembaca orang Indonesia, yaitu bahasa Indonesia. Tidak hanya ini, gaya bahasanya pun menarik dan pilihan katanya pun dapat memperkaya kosa kata siswa dalam hal bidang keagamaan.
b. Latar belakang budaya yang ditampilkan pun masih terasa umum. Jadi, siapa pun (baik yang beragama Islam, kristen, Hindu,maupun Budha) bisa dengan mudah memahaminya dan tidak menimbulkan pertentangan yang mendasar. Meskipun di dalamnya terdapat kosa kata islami, hal ini tidaklah menggangu bahkan akan menarik jika siswa membandingkan dengan kosa kata non-Islam yang sejenis.
a. Dilihat dari segi bahasanya, cerpen ini jelas menggunakan bahasa yang bisa dipahami pembaca orang Indonesia, yaitu bahasa Indonesia. Tidak hanya ini, gaya bahasanya pun menarik dan pilihan katanya pun dapat memperkaya kosa kata siswa dalam hal bidang keagamaan.
b. Latar belakang budaya yang ditampilkan pun masih terasa umum. Jadi, siapa pun (baik yang beragama Islam, kristen, Hindu,maupun Budha) bisa dengan mudah memahaminya dan tidak menimbulkan pertentangan yang mendasar. Meskipun di dalamnya terdapat kosa kata islami, hal ini tidaklah menggangu bahkan akan menarik jika siswa membandingkan dengan kosa kata non-Islam yang sejenis.
Berdasarkan kriteria-kritera inilah kiranya cerpen ini sangat sesuai dan tepat bila dijadikan bahan ajar untuk pembelajaran sastra di kelas I dan II, apalagi di kelas III SMU. Selain itu, akan lebih menarik lagi jika gurunya pun aktif-kreatif ketika membelajarkan siswanya dalam menelaah cerpen tersebut. Namun demikian, agar pembelajaran sastra dengan bahan cerpen itu menarik dan lancar, guru dan siswanya pun haruslah sama-sama membaca cerpen itu lebih dari satu kali dan jangan coba- coba membaca ringkasannya.
(Y)
BalasHapus(Y)
BalasHapusHalah
Hapusblakutak
Hapusbagusss
BalasHapusterimakasihh:)
BalasHapusguuuudddd
BalasHapusterimakasih telah membantu.
BalasHapusKenapa tidak ada latar suasana?
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusMksih atas infonya
BalasHapusPukimak ko lah
BalasHapusKeren
BalasHapuseeeeeeee kontolllllllll
BalasHapusblakutalkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkk mmmmmmmnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnn bbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmm
BalasHapusKeren
BalasHapusMakasih atas bantuannya kak
BalasHapusMakasih atas bantuannya
BalasHapusParis love kapi
BalasHapusJosep bro
BalasHapusTerimakasih telah membantu tugas saya ^_^
HapusMakasih
BalasHapusCerpen na panjang teuing...
BalasHapusTerima ksih
BalasHapustrimakasihhh☺️👍
BalasHapusSama sama:3
HapusMkasih:)
BalasHapusTerimakasih atas informasinya
BalasHapus